Minggu, 18 Agustus 2019

Suka Duka Penghuni "Barbel"

Apa yang kamu pikirkan ketika pertama kali mendengar kata barbel?
Alat olahraga?
Bukaaan..
Barbel itu sebenarnya adalah singkatan dari barisan belakang. Hari ini aku teringat kata ini setelah melihat upacara di televisi, mengingatkan masa-masa SMA 13 tahun yang lalu. Masa-masa dimana baris berbaris adalah makanan sehari-hari.

Istilah barbel ini pertama kali dilontarkan oleh teman sekamarku. Ya, sekolah saya dulu ini adalah sekolah asrama. Saya lupa tepatnya oleh siapa tapi kata itu tiba-tiba terlontar saat kami mengobrol santai. Kata ini 'tercipta' karena sebagian dari kami adalah penghuni 'barbel'.

Dulu waktu SD-SMP urutan berbaris adalah yang pendek di depan dan yang tinggi di belakang. Namun, ternyata yang benar adalah dari depan ke belakang adalah dari yang paling tinggi ke paling pendek. Sebenarnya kami tidak sependek yang kalian kira, tapi karena teman-teman kami banyak yang tinggi banyak jadi yaaa begitulah.

Sebagian orang mungkin mencibir kami-kami yang ada di barbel. Dilihat orang pun juga tidak. Di mana-mana yang terlihat adalah yang paling depan. Tapiiiii..jangan salah ya, ada kalanya tempat kami ini menjadi tempat impian bagi para mereka yang berbadan tinggi. Senangnya ada di barbel itu:
1. Terhindar dari sengatan matahari. Kami selalu terlindung oleh mereka yang berbadan lebih tinggi. Apalagi ketika matahari berada tepat di depan barisan kami. Topi pun tak sanggup melindungi sengatannya. Pada saat ini barbel adalah posisi yang diimpikan sebagian besar siswa. Pernah suatu hari, aku berada di barisan nomer dua dari depan gara-gara banyak teman yang lebih tinggi memilih barbel. Hmmmm, jadi gini rasanya baris di barisan depan, panaaas guys.
2. Barbel itu jauh dari pengawasan senior. Kalau di depan, bergerak saat upacara tentu langsung ketahuan. Di barbel masih sedikit lebih santai, meskipun sebenarnya tetap ketahuan sih kalau bergerak heboh.

Tapi, gara-gara di barbel, aku menyadari bahwa impianku menjadi paskibraka sirna. Aku harus tahu diri biar tidak dikira pungguk merindukan bulan. Dulu sekali aku pernah bermimpi menjadi salah satu pasukan pengibar bendera di istana negara. Geli ya kalau ingat itu sekarang. Kalau kata Bang Haji sih, "Masa muda masa yang berapi-api". Kira-kira seperti itu gambaran masa mudaku dulu. Rasanya banyak ya yang bermimpi seperti itu, gimana tidak upacara 17 Agustus di istana itu adalah tontonan wajib setiap tahun, dari kecil sampai punya anak. Wajar kalau banyak yang bermimpi menjadi paskibra. Mimpi itu terus aku pupuk sampai masuk SMA ini, SMA yang baris-berbaris adalah makanan setiap hari. Namun setelah menjadi penghuni barbel aku harus tahu sampai dimana kemampuanku. Berada di barbel membuatku mawas diri, bahwa tidak menjadi paskibraka pun aku tetap bisa berkontribusi bagi negeri. Cie cieee.

Satu lagi yang membuat barbel membosankan adalah kita tidak tahu bagaimana pemandangan di depan. Apakah ada suatu kejadian yang menarik? Atau seseorang yang menarik? eh eh gak boleh ya. Menentukan ke mana barisan melangkah pun tidak bisa, kita hanya bisa mengekor orang-orang di depan. Belok kanan ya kanan, kiri ya kiri. Untungnya jalannya cuma itu-itu saja sih jadi tidak terlalu masalah.

Barbel ini menjadi salah satu topik pembicaraan yang seru saat bertemu mantan penghuni barbel. Sampai saat ini kalau bertemu kita cuma tertawa. Menertawakan diri kami sendiri yang sok asik dan sok bangga karena pernah menjadi penghuni barbel. Padahal itu adalah cara kami menghibur diri karena berada di barisan belakang.

2 komentar:

  1. Keren mbaa, masih bisa mengambil hikmah dan hal-hal positif sebagai Penghuni Barbel :D 'Keep calm and stay positive'<3

    BalasHapus
  2. Kalo aku malah di depan mak,.. Karena barisan nya disusun berdasarkan dari paling kurang tinggi ke yang tinggi... Heheheh

    BalasHapus