Senin, 12 Agustus 2019

Revies Materi 4 "Peran Ayah dalam Pengasuhan untuk Membangkitkan Fitrah Seksualitas"

Hari ini adalah hari ke-5 level 11 dan memasuki materi ke 4. Sesaat setelah materi dibagikan, grup kelas sudah ramai sekali. Bayangkan..kurang lebih 300 chat sudah menunggu untuk dibac padahal diskusi belum dimulai. Hal ini membuktikan betapa serunya materi yang dibawakan oleh kelompok 4 ini. Dalam diskusi beberapa waktu lalu, ada teman sekelas yang bilang, "Negeri ini disebut fatherless country". Waktu itu dalam hati saya membantah, ah..masak sih? Tapi, setelah mendapatkan materi ini, kemudian banyak tentang sosok ayah. Hal itulah yang kemudian menuntun saya untuk flashback ke masa saya kecil. Dan..ah iya, rupanya saya ada di barisan anak-anak yang fatherless. Sebagian dari kami punya ayah, yang setiap hari kami bertemu tapi kami tidak mendapatkan figur seorang ayah.

Memangnya apa akibatnya jika tak mendapatkan sosok ayah? Yang saya alami adalah dalam mengasuh anak selama ini saya ada memerankan peran ayah. Seperti misalnya, saya menjadi 'tegaan' dengan anak dan rasa lembut saya berkurang.

Lalu, bagaimana peran ayah seharusnya?
Zaman dulu, peran ayah hanya dipahami sebagai orang yang mencari nafkah. Selain itu semua diserahkan kepada sang ibu. Namun, ternyata anak juga butuh sosok seorang ayah dalam perkembangannya. Ayah itu:
1. Man of mission and vision
2. Penanggung jawab keluarga
3. Sang ego dan individualitas
4. Sang raja tega
5. Suplier maskulinitas
6. Konsultan pendidikan
7. Penegak profesionalisme

Diskusi tadi siang berhasil membuat kami, para peserta diskusi untuk saling introspeksi diri. Apakah kami dulu fatherless? Apakah suami kita juga fatherless? Bagaimana memutus rantai fatherless agar anak-anak kita dapat tumbuh dengan fitrah yang paripurna.

Langkah pertama yang saya lakukan setelah diskusi tadi adalah kirim materi presentasi ke suami, lalu minta beliau untuk membacanya. Selanjutnya komunikasi produktif dengan suami membahas tentang pengasuhan orang tua kami kepada kami dahulu, kami lakukan evaluasi bersama-sama. Kami sadari bahwa terkadang ada peran terbalik yang kami terapkan dalam keluarga. Ayah yang seharusnya menjadi raja tega tetapi saya malah yang lebih tegaan kepada anak. Saya yang seharusnya menjadi pembasuh luka anak, terkadang suami yang lebih lembut ke anak. Itu hanya salah satu contohnya. Selanjutnya kami banyak membahas peran ayah dan ibu pada tahapan-tahapan usia anak seperti materi hari kemarin. Suami bertanya, "Kenapa ayah harus dekat dengan Qiy di usia 10-15?"
Iya, supaya Qiy merasakan dan tahu bagaimana disayangi dan menyayangi oleh laki-laki. Supaya Qiy tidak mudah tergiur oleh rayuan gombal laki-laki yang bilang sayang kepadanya. Begitu jawaban singkat saya yang membuat suami langsung peluk-peluk anak wedok. Kalau diterjemahkan, mungkin kira-kira begini, "Nak, aku ayahmu, yang akan menjadi laki-laki pertama yang kamu cintai"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar